Saturday, May 25, 2013

Mingguan Hidup

Wisma Lansia Harapan Asri: Jejak Langkah Wisma Harapan Asri


Para perawat Wisma Lansia Harapan Asri hilir mudik. Sembari mengenakan sarung tangan dan penutup hidung, mereka memandikan penghuni wisma yang sudah tidak bisa mandi sendiri.

Begitulah suasana sehari-hari di wisma yang dikelola para bruder Kongregasi Bruder-Bruder Santo Aloisius (Congregatio Sancti Aloysii/CSA) ini. Wisma yang berada di daerah sejuk Banyumanik Semarang, Jawa Tengah itu dihuni 35 orang lansia berusia 52-90 tahun. Mereka rata-rata menunggu dengan tenang hingga ”saudara maut” menjemput mereka.

Ada yang memilih tempat itu agar tidak merepotkan anak atau sanak saudara. Misalnya, Edy Soejanto. Laki-laki yang lahir 90 tahun lalu ini senang tinggal di wisma tersebut karena tidak ingin merepotkan anaknya. ”Dulu, saya tinggal di lantai dua rumah kami. Anak saya khawatir kalau nanti saya jatuh karena saya tidak mau pakai pembantu. Di sini saya bisa mengurus diri sendiri,” ujar penggemar berat sepak bola ini.

Ada juga Rosa alias The Gien Ping Nio. Perempuansingle berusia 70 tahun ini setiap hari membantu di dapur dengan memotong-motong sayur untuk dimasak sebagai makanan mereka sehari-hari. Dan yang unik, Br Pius Suyoto CSA, mantan Provinsial CSA yang melihat perubahan gedung dari sekolah menjadi wisma lansia ini, selalu menghibur tetangga-tetangga dengan candaannya yang segar. 

Bekas SLTP

Bangunan yang terletak di Jl Tusam Raya No 2A ini dulunya adalah SLTP Aloysius. Sekolah ini dikelola para bruder CSA. Semula, sekolah yang terletak di Semarang atas, demikian penduduk sekitar menyebutnya, cukup tersohor sebagai sekolah bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

Sekolah yang awalnya dirintis Bruder Pius Suyoto CSA pada 1982 ini semula hanya berupa dua ruangan sederhana. Letaknya di Jl Kanfer Raya No 49. Setahun kemudian, Yayasan Mardiwijana yang berada di bawah naungan para bruder CSA, mendirikan sebuah gedung sekolah baru. Lokasinya di Jl Tusam Raya No 2A, Pedalangan, Banyumanik. Namun, perkembangannya kurang menggembirakan.

Menurut Pemimpin Wisma Lansia Harapan Asri, Br Heribertus Suparno CSA, banyak faktor yang menyebabkan jumlah siswa semakin menurun. Pertama, sekolah ini berganti-ganti kepala sekolah. Akibatnya, manajemen kurang bagus. ”Guru-guru dan kebijakan sekolah ikut terpengaruh dengan kondisi seperti itu,” jelas Br Heri, sapaan akrabnya.

Selain itu, sekolah yang 70 persen muridnya non-Katolik ini terkena isu kristenisasi yang santer berhembus di daerah itu. Munculnya sekolah-sekolah negeri ikut mempengaruhi situasi itu. Akhirnya, Agustus 2003, Pengurus Yayasan Mardiwijana mengajukan permohonan kepada Dewan Umum CSA untuk menghentikan kegiatan belajar mengajar.

Tepatnya pada 30 Agustus 2003, Dewan Umum CSA mengabulkan permohonan penutupan SLTP St Aloysius. Mulai Tahun Ajaran 2004/2005 SLTP St Aloysius Banyumanik tidak menerima murid baru lagi, dengan batas penutupan akhir Juni 2006. Dalam kurun waktu tersebut, siswa yang ada tetap akan didampingi hingga lulus. Sementara para tenaga pengajar disalurkan ke sekolah-sekolah Katolik lain.

Karya baru 

Dengan ditutupnya SLTP St Aloysius, para bruder memeras otak untuk mencari karya pelayanan baru bagi masyarakat. Melalui Surat Keputusan No 163/DUCSA/IX/2003, tertanggal 19 September 2003, Dewan Umum CSA membentuk panitia ad hoc yang bertugas memikirkan alternatif karya baru yang akan dilaksanakan para bruder CSA bagi masyarakat.

”Kami mengundang tokoh-tokoh pendidikan di Banyumanik, kami bicara dengan data dan fakta. Kami tidak khawatir karena keluarga-keluarga bisa menyekolahkan anak-anaknya di Semarang bawah. Alat transportasi juga semakin banyak. Kami juga merasa lega karena tidak menelantarkan mereka,” Br Heri melanjutkan.

Semula ada dua pilihan karya pelayanan, yakni kursus informal atau wisma lansia. Awalnya, mereka ingin menjadikan ruang-ruang kelas SLTP menjadi ruang kursus informal, sebuah karya pelayanan yang sudah lama dilakukan para bruder CSA. Namun, sudah banyak Balai Latihan Keterampilan (BLK) di wilayah itu. ”Ternyata, banyak BLK gratis dari pemerintah dengan fasilitas lengkap. Kami pasti kalah bersaing,” urai Br Heri.

Akhirnya, mereka memilih untuk fokus pada wisma lansia. Mereka mulai melakukan studi banding ke berbagai tempat penampungan lansia. Menurut pengamatan, tempat penampungan lansia di Semarang terkesan kumuh dan merupakan tempat berakhirnya kehidupan seseorang. Sebutannya juga panti jompo. Mereka ingin mengubah mindset mengenai panti jompo. ”Kami ingin membuat wisma lansia yang tidak kumuh. Sebuah rumah yang memiliki harapan,” imbuh Br Heri.

Mereka membawa rencana tersebut ke Uskup Agung Semarang waktu itu, Mgr Ignatius Suharyo. Uskup mendukung rencana tersebut. Selama ini CSA bekerjasama dengan Keuskupan Agung Semarang (KAS) mengelola Yayasan Sosial Soegijapranata yang juga memiliki panti jompo di tiga tempat.

Sedikit demi sedikit, ruang kelas disulap menjadi ruang perawatan para lansia. Ruangan yang dulunya berisi papan tulis dan kapur berubah menjadi tempat tidur dan tempat minum. Fasilitas benar-benar disesuaikan dengan karya pelayanan baru ini.

Tidak disangka, penghuninya bukan hanya berasal dari Semarang, tetapi juga kota-kota lain seperti Jakarta dan Surabaya. Sebagian dari mereka berpendidikan tinggi. Cukup sulit bagi para bruder untuk mengubah mindset dari pendamping anak yang homogen menjadi pendamping lansia yang heterogen. Br Heri mengakui, setahun lamanya ia melakukan pendekatan kepada masing-masing penghuni.

”Saya mendengarkan masalah-masalah mereka. Ternyata, mereka adalah orang-orang yang dulunya berprestasi. Ada yang jadi peragawati, jaksa, dan guru. Tapi, sekarang mereka merasa rendah diri karena tidak berdaya. Karena itu, kami menganggap mereka bukan hanya sebagai orang yang perlu diperhatikan sebagai lansia, tetapi juga sebagai mitra untuk karya kami,” lanjut Br Heri.

Cukup pesat

Sabtu, 7 Januari 2012, merupakan hari yang dinanti-nanti para penghuni. Pada hari itu wisma tempat mereka tinggal merayakan ulang tahun ke-3. Hari istimewa itu dirayakan dengan Ekaristi yang dipimpin Pastor Paroki Banyumanik, Richardus Heru Subiyakto Pr, dan Pastor Michael Widyatmaka SJ.

Dalam homilinya, Pastor Heru menyebutkan, meski baru tiga tahun, Wisma Harapan Asri sudah mengalami perkembangan pesat. Tapi, ibarat anak usia tiga tahun, sering menyebalkan orangtua. Diharapkan, sesuai bertambahnya waktu, sikap menyebalkan itu perlahan-lahan berkurang.

Selain mendapat pelayanan fisioterapis, instruktur senam dan dokter, cukup sering relawan datang ke wisma. Mereka tidak segan-segan meluangkan waktu mendampingi penghuni wisma dalam berbagai kegiatan. Misalnya, berkunjung ke mal, atau acara khusus lainnya.

Br Heri mengakui, ia dan para pengurus wisma masih belajar untuk memberi pelayanan yang lebih baik lagi. ”Ini tantangan dan kesempatan untuk berbuat lebih baik lagi. Apalagi Bapa Uskup, Mgr Pujasumarta, menekankan agar kita hendaknya bertolak ke tempat yang lebih dalam. Yang pasti, kami menjalankan visi dan misi kami yaitu menjalankan semangat persaudaraan, kasih, dan damai,” tandas Br Heri.
Sylvia Marsidi

0 comments:

Post a Comment